“Pengkritik pemerintah justru cepat ditangkap bahkan tanpa surat pemanggilan. Untuk itu saya mencoba mengetes aparat dengan melaporkan beberapa orang yang jelas-jelas menyebar hoax apakah ditindak,”JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengatakan, hoax dinilai sudah menjadi alat politik. Di sisi lain, perang melawan hoax justru dipakai sebagai alat untuk menangkap pihak-pihak yang mengkritisi pemerintah.
Hal itu diungkapkan Fadli dalam diskusi bertajuk #WarOnHoax yang digelar Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Menurut Fadli, penindakan aparat hukum dalam memerangi hoaks justru yang ada dipersepsi masyarakat hanya memerangi pihak tertentu. Mereka cepat menanggapi pelaku di luar pemerintahan atau para pengkritik pemerintah namun lambat jika laporan pelaku di pihak pemerintah.
“Pengkritik pemerintah justru cepat ditangkap bahkan tanpa surat pemanggilan. Untuk itu saya mencoba mengetes aparat dengan melaporkan beberapa orang yang jelas-jelas menyebar hoax apakah ditindak,” ungkap Fadli di Jakarta, seperti dilansir kiblat.net, Sabtu (10/3/2018).
Fadli menilai hoax sudah menjadi alat politik, bahkan media pun sudah disetir oleh partai politik tertentu untuk kepentingan tertentu. Framing media pun sering mendiskreditkan pihak tertentu.
![]() |
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon berbicara dalam diskusi #WarOnHoax. (Foto: Zakhi / kiblat.net) |
Fadli juga menilai pemerintahan Jokowi tidak memiliki kepemimpinan yang baik. Sehingga banyak kebijakannya yang kontroversial. Salah satunya terkait data kependudukan, di mana selama ini tidak ada jaminan data kependudukan aman dari kepentingan politik atau asing.
“Registrasi SIM card contohnya, siapa yang menjamin keamanan data di sana. Padahal banyak operator komunikasi di Indonesia dimiliki oleh negara asing,” pungkasnya.
Cara Membedakan Fakta atau Hoax
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Prof. Ibnu Hamad menyampaikan tips untuk membedakan informasi mana yang disebut fakta dan mana yang masuk kategori Hoax. Ada tiga sisi yang harus dipahami oleh masyarakat, yaitu:
Pertama sisi pembubuhan berita; fact news itu rasional dan berdasarkan deskripsi, sedangkan fake news itu emosional dan imajinasi. Kedua dari sisi framing; fact news berdasarkan kenyataan, adapun fake news keinginan opini. Dan ketiga dari sisi dasar berita; fact news itu proposional (netral dan impartial), sedangkan fake news berlebihan.
![]() |
Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Prof. Ibnu Hamad. (Foto: kiblat.net) |
“Media besar pun berperan dalam hal itu. Framing yang berlebihan, isinya fakta tetapi judulnya mensudutkan, bahkan menjustifikasi seseorang atau lembaga. Seharusnya media dalam memberitakan datar-datar saja sesuai fakta,” katanya, dikutip kiblat.net, Sabtu (09/03/2018).
Dalam praktik post truth contohnya adalah membuat pernyataan kosong atau empty assertion (Davis, 2017). Pernyataannya bukan hanya tidak benar tetapi tidak banyak berhubungan dengan fakta termasuk sangat sedikitnya usaha untuk menghubungkan pernyataan tersebut dengan fakta.
Post truth adalah sifat dari suatu keadaan di mana daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta yang objektif.
“Yang paling menonjol dari post truth adalah di dunia politik. Aktor politik yang menyewa buzzer bayaran merupakan pihak yang gemar melakukan post truth. Konsultan politik juga ditengarai, sering melakukan post truth," kata pakar ilmu komunikasi tersebut. (fg)
Sumber: kiblat.net