“Kebijakan penambahan utang adalah kebijakan yang ngawur. Pemerintahan Jokowi-JK makin lama makin ngawur,”Gerhana85.com - Jakarta - Kebijakan Presiden Joko Widodo dengan begitu mudahnya melakukan penambahan utang negara, dikecam banyak kalangan. Bahkan tidak sedikit para ekonom dan pengamat yang mengatakan kebijakan pemerintahan Jokowi - JK sudah berantakan atau 'ngawur'
Analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Dani Setiawan mengungkapkan, keinginan pemerintah yang melakukan penambahan utang hanya akan mempersulit perekonomian dan menambah beban bagi rakyat Indonesia.
“Negara yang bergantung pada utang sudah pasti perekonomiannya tidak sehat,” ungkap Dani, di Jakarta, Jumat (1/1).
![]() |
Analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Dani Setiawan. (Foto: monitorday.com) |
“Kegiatan ekonomi yang dilakukan, jenis penerimaan, pasti alokasinya hanya untuk bayar utang,” tuturnya. Akibat beban dan kewajiban utang, lanjutnya, SDM dan SDA kita akan dieksploitasi untuk mendapatkan Devisa guna melakukan pembayaran utang.
“Kebijakan penambahan utang adalah kebijakan yang ngawur. Pemerintahan Jokowi-JK makin lama makin ngawur,” lanjut Dani.
Olehnya itu, menurut Dani Setiawan, masyarakat hari ini perlu menyadari bahwa pemerintahan kita saat ini dengan kebijakan yang selalu ingin menambah utang hanya akan membawa bangsa ini ke arah yang tidak baik.
![]() |
Presiden Joko Widodo saat bertemu Presiden China Xi Jinping. China adalah negara paling besar yang memberikan pinjaman hutang selama era pemerintahan Jokowi. |
Terpisah, pengamat Politik Ubedilah Badrun mengungkapkan, langkah yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi JK untuk menambah utang bangsa ini bertolak belakang dengan semangat berdikari secara ekonomi sesuai dengan tuntutan trisakti.
“Bangsa ini tidak akan berdaulat secara ekonomi. Kita akan tergantung pada kepentingan pemilik modal yang meminjamkan dananya ke Indonesia,” kata Ubedilah yang juga Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia di Jakarta, Jumat (1/1).
![]() |
Rakyat melakukan demonstrasi menprotes gaya kepemimpinan Jokowi, yang dianggap lebih banyak menyengsarakan rakyat. |
“Dan bisa saja tentu bangsa kita akan mengalami ketergantungan secara ekonomi dari pemilik modal. Ini kan bertentangan dengan semangat Trisakti,” lanjut Ubedilah.
Jokowi Presiden Paling Banyak Berutang
Politikus sekaligus ekonom Ikhsan Modjo mengatakan, dari enam pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Joko Widodo merupakan pemerintah yang paling sering berutang setelah pemerintahan BJ Habibie. Rata-rata utang tahunan di era pemerintahan Habibie tumbuh 27,7 persen. Akan tetapi, menurut Ikhsan, yang membedakan pada saat itu Indonesia tengah dilanda krisis.
"Saat ini (pemerintahan Jokowi) kan tidak dilanda krisis, tapi rata-rata utang tahunan tumbuh 13,3 persen. Tiap tahun rata-rata utang nambah 17,88 miliar dollar AS," kata Ikhsan dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Selasa (21/6/2016).
![]() |
Sebuah meme yang dibuat masyarakat netizen di dunia maya, mengkritik janji Joko Widodo dalam bidang ekonomi. (Foto: Facebook) |
Selama sepuluh tahun memerintah, rata-rata utang tahunan pemerintahan SBY tumbuh hanya 5,6 persen atau 9,31 miliar dollar AS. Di era Megawati, utang hanya tumbuh 1,5 persen atau 1,07 miliar dollar AS per tahun. Sementara itu, di era Abdurahman Wahid rata-rata utang tahunan malah tumbuh negatif sebesar 7,6 persen, atau 5,4 miliar dollar AS.
Ikhsan juga menyampaikan, pemerintah Jokowi dan para pendukungnya selalu berdalih bahwa utang pemerintah Jokowi untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Namun, menurut dia, faktanya tidak begitu.
Ikhsan menjelaskan, dalam dua tahun terakhir, yakni 2014-2016 pinjaman program meningkat lebih tinggi dibandingkan pinjaman proyek. Pinjaman program tercatat mengalami kenaikan sebesar Rp 19,8 triliun atau 77,8 persen.
![]() |
Sebuah meme yang dibuat masyarakat netizen di dunia maya, mengkritik janji Joko Widodo dalam bidang ekonomi. (Foto: Facebook) |
Seperti diketahui, pemerintah akan menambah utang sebesar Rp605,3 triliun pada tahun ini. Porsi paling besar akan dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sampai dengan Rp532,4 triliun.
Kemudian penarikan pinjaman luar negeri non SLA (Subsidiary Loan Agreement) sebesar Rp69,2 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp3,7 triliun.
Sumber: Gerhana85/Wartakota.com/Kompas.com